Feeds:
Pos
Komentar

Pada tanggal 7 Desember 1954 beberapa tokoh Islam mendirikan suatu yayasan yang diberi nama Yayasan Masjid Istiqlal. Tujuan daripada yayasan tersebut adalah mendirikan sebuah masjid Agung dengan nama Masjid Istiqlal yang berlokasi di Jakarta.

Kata ini dipakai sebagai rasa syukur kaum muslimin terhadap Allah SWT, yang telah menganugerahkan kemerdekaan setelah mengalami penjajahan dengan masa yang cukup panjang. Pembangunan masjid ini juga merupakan simbol dari peran kaum muslimin dalam mempertahankan Republik tercinta ini. Masjid Istiqlal merupakan Masjid terbesar, bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tenggara.

Masjid ini didirikan pada tahun 1961 dan selesai pada tahun 1978. pembangunan masjid memerlukan waktu sekitar 17 tahun, berawal pada masa Presiden Soekarno dan diresmikan pengunaanya pada masa Presiden Soeharto. Pada tahun 1955 diadakan sayembara untuk memperoleh sebuah rencana untuk menggambar masjid Istiqlal. Peserta sayembara yang terdaftar ada 30 orang dan hanya 27 peserta yang memenuhi persyaratan lomba. Singkat cerita, terpilihlah arsitek F. Silaban sebagai pemenangnya. Setelah mempelajari literatur tentang masjid dan berkonsultasi dengan para ulama, maka F.Sialaban memulai pekerjaannya.

Jadilah sebuah masjid yang megah sebagaimana kita saksikan sekarang. Masjid dengan luas tanah 9,5 hektar ini terdiri dari banguan masjid, taman, halaman parkir, kolam air mancur serta sungai yang mengelilinginya. Bangunan masjid ini terdiri dari gedung utama, gedung pendahuluan, teras raksasa, menara dan lantai dasar.

Gedung induknya sendiri terdiri dari lantai utama yang berfungsi untuk salat berkapasitas 16.000 orang. Gedung ini memiliki 12 pilar besar sebagai simbol tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pilar-pilar tersebut menyangga sebuah kubah raksasa yang memiliki garis tengah 45 m. Angka tersebutmerupakan simbol tahun kemerdekaan RI.

Pada kubah tersebut tertulis Ayat Kursi dan Surat Al-Ikhlas yang diawali dengan basmalah. Terlihat pula pada dinding bagian depan masjid tulisan kaligrafi, disebelah kanan lafadz Allah dan sebelah kiri lafadz Muhammad. Sedangkan bagian tengah sendiri, agak keatas kaligrafi bertuliskan lafadz “La illaha IllaLLah” yang berarti tiada tuhan selain Allah. Tauhid. Di sudut sebelah tenggara terdapat bedug raksasa yang berfungsi sebagai alat pertanda waktu shalat.

Bedug merupakan salah satu ciri ke-Islaman Indonesia dimana hanya terdapat di masjid-masjid Indonesia. Bedug ini terbuat dari kayu meranti dari Kalimantan Timur yang konon berumur 300 tahun. Garis tengah/ diameter depan adalah 2 meter sedangkan diameter belakang adalah 1,71 meter. Sementara panjang keseluruhan adalah 3 meter dengan berat total 2,3 ton. Kulit pada bedug adalah kulit sapi. Dibutuhkan 2 lembar kulit sapi dari 2 ekor sapi dewasa. Bagian depan adalah kulit sapi jantan sedangkan bagian belakang adalah kulit sapi betina. Untuk menempelkan kulit ini dibutuhkan 90 paku yang terbuat dari kayu Sonokeling yang pembuatannya membutuhkan waktu 60 hari di Jepara Jawa Tengah.

Lebih lanjut, dinegara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, biasanya terdapat masjid dengan teras yang sangat luas. Untuk Istiqlal sendiri terasnya mencapai 19.800 m2 yang dapat menampung sekitar 50 ribu jama’ah. Uniknya teras ini tidak paralel dengan bangunan induk yang menghadap ke kiblat melainkan mengarah ke Monumen Nasional. (Monas). Hal ini menunjukkan, bahwa Masjid Istiqlal sebagai masjid nasional memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah bangsa Indonesia.

Dua bangunan itu dimaksudkan sebagai sebuah simbol dari peran kaum muslimin berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih lanjut, karena bangunan masjid teras ini tidak mengarah ke kiblat, maka diadakan petunjuk arah kiblat bagi jama’ah shalat.

Sekarang, masjid ini semarak dengan berbagai aktivitas umat muslim dan organisasi Islam di dalamnya. Ada MUI, Dewan Masjid Asia dan Lautan Teduh, Dewan Masjid Indonesia, Pusat Perpustakaan Islam Indonesia, LPTQ dan BP 4 Pusat. Bahkan di atas lahan di sekeliling masjid Istiqlal, sebagian dipergunakan untuk kegiatan ekonomi, warung makan, cinderamata, dan terutama setiap hari Jum’at ramai dipenuhi pedagang dan pembeli sehabis menunaikan shalat Jum’at, yang dikenal dengan pasar Jum’atan. “rencananya juga akan dibangun sekolah terpadu hingga universitas untuk jangka panjangnya” ungkap Humas Masjid ini, H.M Sahlan. Hingga saat ini sudah berjalan sekolah Madrasah hingga Aliyyah yang sudah berjalan setahun ini, ungkapnya. Walhasil semoga umat Islam semakin giat melaksanakan salat lima waktu dan ibadah lainnya. Amin.[mz]

Oleh: Ambar Susatyo Murti, M.Si

Perjalan Hidup dan Karir Al-Maududi

Abu al-A’la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H/ 25 September 1903 M di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hyderabad (Deccan), sekarang ini Andhara Prades di India. Masa belajarnya diawali dari orang tuanya sendiri yang bernama Ahmad Hasan al-Maududi. Al-Maududi dididik dengan kultur syarif atau dengan system pendidikan klasik.

Pada usia sebelas tahun, ia baru melanjutkan studinya ke sekolah modern, tepatnya di Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad, yang memadukan sistem pendidikan modern barat dengan pendidikan Islam tradisional. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Dar al-’Ulum Deoband, suatu lembaga pendidikan yang mencetak ulama besar terkemuka dan berpengaruh di India waktu itu. Namun pendidikannya tidak berlanjut setelah ayahnya meninggal dan saat itu ia baru menempuh 6 bulan masa kuliahnya.

Tahun 1918, dia ke Bijnur bergabung dengan saudaranya dan berkarir di bidang jurnalistik. Tahun 1920 ia berkarir sebagai wartawan, dan selanjutnya pada media mingguan Partai Konggres yang bernama Taj ia menjabat Redaktur Harian, namun media Taj akhirnya ditutup. Kemudian Al-Maududi kembali ke India, ia bertemu dengan pemimpin khilafah Muhammad Ali. Dengan Muhammad Ali, ia menerbitkan koran nasional Hamdard. Pada akhir tahun 1920, ia diangkat sebagai pimpinan redaksi surat kabar Muslim di Delhi (1921-1923). Kemudian ia menjadi redaktur al-Jam’iyyah (1925-1928) surat kabar yang sangat berpengaruh di New Delhi waktu itu. Selama menempuh karir itulah Al-Maududi mengetahui kesadaran politik kaum muslim, dan menjadi aktif dalam urusan agama. Dia mulai menulis soal yang menjadi perhatian kaum muslim India, keadaan menyedihkan turki berhadapan dengan imperialisme Eropa, dan kejayaan pemerintahan muslim di India.

Sementara itu, Maududi juga dipengaruhi oleh tokoh muslim lainnya. Ia mengakui pemikiran Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim, dan Shah Waliyullah yang paling mempengaruhi dirinya, dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pemikirannya. Selain tokoh-tokoh tersebut, para tokoh romantisme India seperti Maulana Muhammad Ali, Maulana Abul Kalam Azad, Maulana Muhamad Iqbal, dan Sibli Nu’mani juga mempengaruhi pemikirannya. Sedangkan tokoh diluar India Hasan Al-Bana dianggap menjadi inspirator pemikirannya.

Pandangan Al-Maududi Tentang Kenegaraan

Pemikiran Maududi banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Setidaknya ada dua yang mempengaruhi pemikiran Maududi yaitu; Pertama, keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk didalamnya umat Islam; dan Kedua, kenyataan dari adanya kelebihan dan kemajuan Barat, yang menjajah India dan sebagian besar dunia Islam.

Terdapat tiga keyakinan atau anggapan yang melandasi pemikiran Maududi tentang kenegaraan menurut Islam. Pertama, Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat, cukup kembali kepada Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al-khulafa al-Rasyidin sebagai model atau contoh sistem kenegaraan menurut Islam. Kedua, kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulata Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Ketiga, sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.

Berdasarkan ketiga acuan diatas, maka dengan sendirinya Maududi mendukung berdirinya nagara Islam agar menjamin pelaksanaan hukum Tuhan di dunia. Sedangkan tentang negara Islam, dalam pandangan Maududi ada sembilan ciri khas dalam negara Islam tersebut, yaitu; 1). Negara itu didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menundukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam; 2). Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi didalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi; 3). Sistem negara Islam bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi yang pelaksanaannya sesuai dengan pendapat rakyat, akan tetapi kecenderungan rakyat diatur dan diluruskan dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya; 4). Sistem negara ini adalah negara yang berdasarkan konsep-konsep yang dikelola orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasannya, namun bagi orang yang memiliki keyakinan yang berbeda merekapun memiliki hak-hak yang sama dengan orang yang meyakini dan menerima prinsip serta gagasan negara; 5). Negara ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografi. Setiap manusia dimanapun yang dapat menerima prinsip negara ini adalah termasuk warga negara Islam; 6). Semangat hakiki yang menjiwai negara ini ialah mengikuti akhlak, bukannya mengikuti politik serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya berdasarkan takwa kepada Allah dan takut pada-Nya. Pemilihan para pemimpin dan orang-orang ahl al-halli wa al-’aqd (yang berhak ”melepas dan mengikat”) dalam negara ini adalah: kebersihan akhlak dan kesuciannya disamping kemampuan intelegensia dan fisik; 7). Sasaran negara ini adalah menyerukan perbuatan kebaikan, melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemunkaran dan memberantas kejahatan serta segala bentuk perusakan; 8). Nilai-nilai asasi negara ini adalah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan serta pelaksanaan undang-undang, tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, kesadaran akan tanggung jawab dihadapan Allah dan tidak membiarkan tidak terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya; 9). Ditetapkannya adanya hubungan keseimbangan antara individu dan negara dalam sistem ini, sehingga negara dan penguasa menjadi penguasa mutlak, namun juga tidak memberikan kemerdekaan mutlak tanpa batas kepada individu dan membiarkannya berbuat apa saja.

Kalau diringkas pendapat Maududi, ada 4 (empat) ciri negara Islam, yaitu; i) kedaulatan ada di tangan Tuhan; ii). Hukum tertinggi dalam negara adalah syari’ah; iii). Pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya; iv). Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas  yang telah ditetapkan Tuhan.

Arip Musthopa[*]

Sejarah lahir dan tumbuh kembang NKRI tidak pernah lepas dari satu nama; “pemuda”. Sejak dari Boedi Oetomo (1908) sebagai Kebangkitan Nasional; Sumpah Pemuda (1928) sebagai kelahiran bangsa Indonesia; Proklamasi Kemerdekaan (1945) sebagai kelahiran negara Indonesia; sampai Gerakan Reformasi (1998) sebagai perjuangan mengembalikan kehormatan bangsa dari otoritarianisme adalah bentuk partisipasi pemuda yang umum dikenal dalam mengawal bangsa ini.

Dalam catatan yang lebih detail, ancaman dari dalam negara seperti peristiwa PKI Madiun para pemuda juga berperan besar. Menanggapi pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948, wakil ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro –yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia)– membentuk Corps Mahasiswa (CM) di bawah komando Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi Wakil Komandan untuk membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI Madiun, dengan mengerahkan anggotanya ke gunung-gunung.

Kurang lebih demikian potret peran pemuda yang terlihat di masa lalu. Sebuah panorama yang tidak lagi banyak ditemukan saat ini. Momen-momen nasionalis di atas, sangat disayangkan tidak lagi banyak mendapat perhatian. Ada kesan penyederhanaan peran pemuda untuk negara kesatuan Republik Indonesia belakangan ini. Asumsi ini mengerucut pada tiga point mendasar: 1] perjuangan yang hanya pada wilayah politik, 2] matinya peran pengetahuan, 3] alergi pada lembaga-lembaga militer dan pihak asing.

Peran yang Terjebak Struktur Kekuasaan

Banyaknya organisasi-organisasi kepemudaan (OKP) yang memiliki hubungan mesra dengan kekuasaan menjadi penjelas poin pertama di atas. Harus diakui kehadiran beberapa OKP cenderung berjibaku dengan urusan struktural kekuasaan ketimbang kultural. Bahkan tidak jarang mereka mengakui diri sebagai organisasi onderbouw kelompok kepentingan tertentu. Parahnya lagi, beberapa oknum yang terbilang tua, menyebut diri ”pemuda” dalam aksi politiknya.

Ini fakta menyedihkan dalam membaca peran pemuda atas republik belakangan ini. Makna peran yang hanya didefinisikan sebagai partisipasi politik praktis bukan saja sebentuk pengerdilan lingkup peran pemuda. Ia juga menurunkan derajat pemuda dengan menjatuhkan citranya pada haus kekuasaan.

Peran besar pemuda dalam Proklamasi adalah drama heroik nasional yang tidak haus kekuasaan, jarang direnungkan. Dalam episode hari Proklamasi Kemerdekaan misalnya. Ketimbang melantik diri menjadi ”proklamator kemerdekaan”, sosok-sosok pemuda seperti Soekarni dan kawan-kawan lebih memilih menjadikan diri sebagai ”penculik” sang Proklamator (Soekarno-Hatta). Semangat peran pemuda ketika itu tidak dipenuhi oleh syahwat politik, tetapi kesadaran melihat fungsi peran diri untuk NKRI. Tercatat sejarah menjadi ”penculik” pun tidak masalah, jika memang itu yang terbaik untuk bangsa ini. Kurang lebih demikian yang mereka pikirkan.

Matinya Peran Pengetahuan

Konsekuensi lain dari penyempitan peran pada ranah politik kekuasaan adalah matinya peran ilmu pengetahuan. Gambaran peran-peran historis di atas sekali lagi tentu tidak menitikberatkan pada wilayah hasrat kekuasaan. Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai titik ”Kebangkitan Nasional” dan Sumpah Pemuda 1928 sebagai titik ”kelahiran Bangsa Indonesia” adalah gerakan yang sukses justeru diuntungkan oleh posisi para pemuda sebagai sosok-sosok terpelajar.

Energi keterpelajaran ini yang mestinya kembali mewarnai peran pemuda dalam menjaga NKRI. Tidak melulu pada ranah kekuasaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya dilirik. Salah satu yang strategis adalah penguasaan IPTEK untuk menjawab kondisi geografis Indonesia, yakni di bidang kemaritiman. Pemuda Indonesia diharapkan mengambil peran kepeloporan untuk mengembangkan sains dan teknologi serta industri kemaritiman yang hingga saat ini masih jauh dari ideal.

Pengembangan ke arah tersebut kerapkali terkendala oleh perpspektif keliru dalam memandang karakteristik yang muncul dari kemaritiman Indonesia. Contohnya, laut dan sungai kerapkali dilihat sebagai penghalang yang harus diatasi, padahal laut dan sungai merupakan penghubung dan pemersatu antar pulau. Perspektif keliru inilah yang pertama harus dipecahkan oleh pemuda Indonesia karena telah banyak dianut oleh para pengambil kebijakan di republik ini.

Alergi Lembaga Militer

Ada hal aneh di tengah pola pikir pemuda. Anti militer dan anti asing adalah dua isu yang santer terdengar di kalangan aktivis pemuda, padahal pada dasarnya keduanya adalah hal paradoks. Satu sisi, pemuda ”anti asing” dan yang dimaksud tentu saja adalah ”anti intervensi pihak asing”, baik imperialisme (perluasan imperium) maupun kolonialisme (perluasan ekonomi). Sebab, jika yang dimaksud adalah benar-benar ”anti asing” maka sungguh menggelikan. Tidak mungkin sebuah bangsa hidup tanpa interaksi kerjasama dengan negara-negara asing lainnya.

Sisi lain, para pemuda terbawa fobia berlebihan pada militerisme, sehingga melahirkan sikap anti pada segala atribut yang berbau militer. Antimiliterisme pemerintahan adalah sebuah kewajiban, tapi tidak berarti sama dengan anti pada segala atribut militer. Sebab jika militer tidak ada, lalu lembaga khusus apa yang akan menjaga NKRI dari intervensi asing?

Paradoks ini melahirkan kecenderungan pemuda yang acuh tak acuh pada peran ketahanan NKRI. Mereka sendiri yang selalu tegas meneriakkan anti asing, tanpa menawarkan opsi fungsi peran sendiri. Bukan tidak mungkin, sikap seperti ini menghilangkan rasa percaya diri lembaga ketahanan NKRI karena merasa dimusuhi dari dalam, padahal mereka bertaruh nyawa untuk melindungi NKRI dari luar. Tidak adanya hubungan baik pemuda-militer ini, juga bisa menjadi alasan mengapa negara tetangga berani menginjak-injak kehormatan wilayah kedaulatan Indonesia.

Potret kerjasama ABRI dan CM (Corps Mahasiswa) di atas menjadi pola relasi yang seharusnya. Hubungan romantis mahasiswa-militer yang justeru lahir di tengah perang pemberontakan PKI Madiun seharusnya juga mengisi kisah peran pemuda ke depan. Dengan perbaikan hubungan kedua pihak ini, tidak mustahil sekali lagi militer bahkan akan memasang badan untuk pemuda, seperti dikisahkan dalam epik pembubaran HMI pada penggalan teriakan Panca Tunggal Lampung, “Kalau menindak HMI, akan saya kerahkan satu batalyon”. @


[*] Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Periode 2008-2010

Oleh: Wage Wardhana Jr*

“Pelita akan terus menyala walau dalam gelap malam dan terjangan badai dengan dua alasan yaitu bahan bakar dan kemauan kita untuk tetap menjaganya”

Pembelajaran sejarah senantiasa selalu mendapat tempat istimewa dan memiliki fungsi politis bagi pemerintahan dan perjalanan sejarah bangsa. Fungsi tersebut akan menyimpang karena adanya keinginan, dan obsesi penguasa serta kekurangmampuan masyarakat merefleksikan sejarah. Kalau hal itu terjadi, ironi akan menggeser fungsi sejarah dari pelajaran yang mencerahkan menjadi pelajaran yang membodohi dan membohongi masyarakat.  Sejarah dengan campur tangan pemerintah telah menjadi alat yang digunakan pemerintah untuk membodohi masyarakat dan menutupi kesalahan penguasa selama 32 tahun. Sudah semestinya kita sekarang membawa sejarah menjadi pelajaran yang sarat dengan keilmuan dan mencerahkan kehidupan bangsa.

Fokus saya sekarang adalah meluruskan paradigma identitas bangsa melalui kacamata kelahiran konsep identitas dan penjajahan. Sebagai ilustrasi, dari zaman kemerdekaan hingga sekarang, kita selalu dijejalin konsep yang salah tentang identitas dan penjajhan yang dilakukan oleh bangsa asing. Buktinya, setiap kita membahas proklamasi, guru sejarah selalu bertanya… Anak-anak, berapa lama Indonesia dijajah?. Anak-anak akan spontan dan serempak akan menjawab 350 tahun pak. Gurupun akan puas dan bilang pintar. Selalu itu yang diulang dan mendarah daging dibenak masyarakat umumnya.

Padahal, kalau kita jeli, Indonesia melewati tiga konsep identitas kebangsaan. Bertepatan dengan sumpah Amukti Palapa pada tahun 1200-an timbul konsep nusantara (bukan Indonesia), hingga tahun 1928, semenjak itulah kita berhak menyandang identitas Nusantara. Kenapa tahun 1928 ?, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 akhirnya melahirkan identitas kebangsaan yang kedua, yaitu kita berhak menyandang status sebagai Bangsa Indonesia, hingga tahun 1945. Tepatnya 17 Agustus 1945, kita berhak menyandang status sebagai Negara Indonesia. Semenjak itulah kita secara de facto mempunyai wilayah, presiden dan kelengkapan negara lainnya hingga sekarang.

Fenomena diatas memunculkan pertanyaan, apa yang salah dengan konsep penjajahan dan identitas Indonesia?. Kalo ada orang yang bertanya kepada saya mengenai penjajahan, saya akan dengan lantang menjawab, sebagai nusantara kita dijajah selama 328 tahun, sebagai bangsa kita dijajh selama 17 tahun dan sebagai negara, kita dijajah selama 3,5 tahun. Bagaimana bisa?

Ada tiga fakta yang harus saya gali dan beberkan mengenai hal ini, pertama yaitu Sumpah palapa di deklarasikan sekitar tahun 1200-an. Pertama kali kita di jajah adalah tahun 1599 atau 1600. Rentang waktu kita dijajah sebagai nusantara berarti dari tahun 1600-1928 (Ingat konsep sumpah pemuda). Hasilnya Nusantara dijajah selama 328 tahun. Yang kedua  sebagai bangsa Indonesia, kita dijajah selama 17 tahun dari tahun 1928-1945. Ketiga adalah sebagai negara, kita dijajah Belanda dari tahun 1945-1949 atau total 3,5 tahun. Versi Belanda kita merdeka pada tahun 1949 sesuai dengan adanya Konferensi Meja Bundar. Sedangkan Versi kita yang hanya didukung India, kita merdeka pada tahun 1945.

Rangkaian fakta ini, mudah-mudahan akan menjadi paradigma baru dalam sejarah Indonesia. Ingat pula, pada tanggal 17 Agustus 1945, kita jangan menulis Dirgahayu Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, tetapi Dirgahayu NKRI 17 Agustus 1945. karena, 17 Agustus merupakan tonggak kelahiran NKRI.

*Ketua Bidang IV (Bidang Agama, Seni dan Budaya) PKC PMII DKI Jakarta

Ajaran Islam sejak dahulu tidak membenarkan penindasan antar sesama manusia. Maka saat kaum penjajah mendatangi bumi pertiwi, para pejuang muslim serta merta berjuang mempertahankan Indonesia. Taruhan nyawa untuk tanah air ibarat kewajiban.

Umat Islam di Indonesia bisa dibilang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peperangan terhadap kaum kolonial sebenarnya telah dimulai pada abad ke-16. Diawali masuknya bangsa barat dengan pendekatan represif, kerajaan-kerajaan Islam mulai melakukan perlawanan. Diantaranya seperti Kerajaan Malaka melawan serangan Portugis, diteruskan oleh Ternate di Maluku, kemudian Makassar dan Banten yang menyerang Belanda dan Mataram Islam yang menyerang pusat kekuasaan Belanda (VOC) di Batavia (1628-1629).

Meski satu persatu kerajaan ini melemah karena politik Devide Et Impera (pecah belah) dari Belanda, semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial. Selanjutnya perjuangan diteruskan oleh rakyat yang dipimpin para ulama.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Syaiful Basri, menyebut bahwa posisi ulama dalam masa awal perjuangan bangsa sangat sentral. “Disamping mereka dibekali dan dipandang dari segi keilmuannya, tapi mereka juga punya komitmen bagaimana membentuk masyarakat yang adil,” terangnya. Mereka membangun umat melalui gerakan moral. “Kalo ulama buat satu gerakan saja, sudah diikuti ribuan pengikutnya.”

Hamdan Zulfan, Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) juga berpendapat serupa. Menurutnya, peran ulama justru dimulai ketika mereka beribadah haji dan belajar agama di Mekkah. “Di tanah Mekkah, ulama selain belajar agama, juga belajar politik. Ketika mereka pulang ke Indonesia, mereka melawan penindasan Belanda.” Besarnya pengaruh ulama, membuat Belanda pernah menyempatkan mengutus Snookhugroudje khusus belajar di Mekkah.

K.H. Hasyim Asyari pun pernah berjumpa dengan santri-santri di Mekkah yang berasal dari tanah air yang ternyata sudah memiliki sikap anti kolonialisme. Rasa kebangsaan di Indonesia tumbuh pula dari sejarah ke-Islam-an. Sebagai umat muslim terbesar di dunia, wajar jika perjuangan kemerdekaan dimotori umat Islam Indonesia.

Perjuangan umat Islam Indonesia, dalam konteks sosial-politik kemerdekaan nasional, berada di barisan terdepan sebagai pelopor. Hamdan menjelaskan, sejak berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905, sebenarnya saat itulah semangat perjuangan Indonesia dimulai sebagai sebuah bangsa.

SDI yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912, merupakan pelopor perlawanan terhadap Belanda. Gerakannya bahkan diakui Hamdan lebih me-nusantara dibanding Boedi Oetomo. “SDI saja anggotanya tahun 1906 sudah dua juta orang dari penjuru nusantara,” tukas Hamdan.

Abad ke-20, kelompok Islam telah menciptakan strategi baru dalam berjuang. Dalam kurun 1908 sampai 1945, kelompok Islam menggunakan konsep perjuangan yang, lebih terkoordinir yaitu menciptakan organisasi.

Selain adanya SI yang disebut-sebut sebagai organisasi politik pertama di Indonesia, salah satu contoh lainnya adalah pendirian Nahdlatul Ulama sebagai langkah cerdas dan maju dari pergerakan kelompok Islam dalam rangka pengorganisasian perjuangan.

Pembuatan UUD 1945 pun merupakan hasil dari banyak kekuatan politik pada saat itu. Termasuk didalamnya kekuatan politik Islam. Menurut K.H. Ali Yafie, dalam bukunya Manusia Dalam Kehidupan Beragama, peran politisi Islam cukup sentral dalam perancangan UUD 1945. Saat itu, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menggodok rancangan UUD 1945, terdapat salah satu anggota aktif yakni K.H. Wahid Hasyim.

Masa awal kemerdekaan, perancangan Piagam Jakarta, yang merupakan cikal bakal dasar negara, mengalami perdebatan tajam antara golongan muslim dan wakil-wakil dari Indonesia Timur (yang didominasi golongan non muslim). Kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” memicu ancaman Indonesia Timur untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan keikhlasan dan demi mempertahankan keutuhan NKRI, golongan muslim akhirnya setuju dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Syaiful lebih lanjut menjelaskan, bahwa sebenarnya ada kompromi politik dalam internal kubu Islam sendiri. “Soal tujuh kata yang dihilangkan (pada Piagam Jakarta-red) itu kini selalu dianggap kekalahan. Saya melihat itu bukan soal kalah menang, tapi bagaimana mempertahankan bangsa Indonesia yang sangat plural dari dulu hingga sekarang.”

Hal senada juga diucapkan Akbar Tandjung, mantan Ketua DPR/MPR. “Kita tidak bisa menjawab itu kekalahan. Tokoh-tokoh Islam saat itu juga usul, bagaimana kita semua juga punya rasa memiliki. Mereka ikhlas menyetujui Pancasila demi kewajiban nasional.”

“Kalau toh bangsa kita maju, umat Islam sudah pasti terangkat. Sebab sebagian besar rakyat Indonesia kan Islam,” tambah Akbar

Situasi tanah air pasca kemerdekaan ternyata belum sepenuhnya aman. Agresi Belanda I dan II sempat mengancam Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan kisruh politik dalam negeri di pemerintahan dan rangkaian gerakan separatis di beberapa daerah. Dalam rangka mempertahankan keutuhan bangsa, umat Islam sekali lagi berperan.

Secara fisik, umat Islam dengan Laskar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar Perang Sabil (APS) dan laskar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu TKR (TNI) untuk mempertahankan NKRI dengan strategi gerilnyanya melawan Sekutu-NICA (Belanda) yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Dalam proses perjuangan diplomasi, RI pun beberapa kali sempat dirugikan. Pada perundingan Renville, wilayah NKRI dipersempit dan berdiri negara-negara boneka Belanda di masing-masing daerah. Kala itu Yogyakarta sebagai Ibukota pun telah diduduki Belanda. Dengan cermat Syafruddin Prawiranegara (Masyumi) mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember 1948 di Sumatera Barat demi kelangsungan NKRI.

Pada KMB, Belanda akhirnya mengakui eksistensi Republik Indonesia Serikat, yang masih memiliki negara-negara bagian dibawah Belanda. Dalam rangka menyatukan Indonesia kembali, tokoh umat Islam Mohammad Natsir mempelopori “mosi integral Natsir”. Isinya yakni kembali ke bentuk NKRI. Mosi integral ini mendapat dukungan sebagian besar anggota kabinet dan Presiden Soekarno. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno menyatakan Indonesia kembali ke NKRI.

Peran Islam dalam perjuangan berdirinya Indonesia sangat signifikan. Dari para ulama, tokoh politik hingga rakyat jelata tak segan-segan mencurahkan segalanya demi keberlangsungan NKRI. [hp]

Sebagian orang berpendapat, bahwa kenyataanya bangsa ini dibangun dari sekedar kesamaan indentifikasi kolonialnya, entah itu Inggris, Belanda, Portugis atau mungkin Majapahit, sehingga Ben Anderson dengan ironiknya mengatakan bahwa dengan menggunakan pendapat tersebut maka bukan hanya Singapura dan Malaysia saja yang dapat masuk, tapi juga Philipina.

Bagaimanapun tiap negara memang mempunyai alasan historis dan filosofisnya masing-masing sebagai dasar eksistensi sebuah bangsa. Yang mungkin jadi persoalan hanyalah rapuh tidaknya latar belakang tersebut (entah itu seperti apa) apalagi jika kita melihat kondisi kontemporer, dimana berbagai pencitraan terhadap bangsa ini banyak dilakukan, seperti telah berubahnya bangsa ini dari bangsa yang ramah tamah menjadi bangsa yang luar biasa kasarnya. Kenyataan yang terjadi memang  tiba-tiba saja menjadi bukti media massa internasional yang sering mengatakan atau menuduh hal yang demikian. Wajah kita sepertinya telah retak dimata mereka. Sepotong wajah retak dikenal dengan nama Indonesia…

Nah, sekarang apakah nyata latar belakang bangsa ini rapuh? entah itu sejak negara modern bernama Indonesia terbentuk (kesatuan politis) melalui hasil konsepsi para Founding Father atau jauh sebelumnya, sejak masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya berhasil mencakup satu kesatuan (kesatuan geografis) bernama Nusantara dimana kesatuannya hampir meliputi seperti sekarang ini. Apakah memang rapuh? Tentu saja tidak. Kita wajib eling (Ingat). Kita mempunyai akar konsepsi yang kuat. Bahwa keputusan para pendiri bangsa sejak memproklamirkan Sumpah Pemuda dan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya sekedar karena latar belakang kolonialnya semata, namun juga karena ikatan-ikatan tradisional yang telah terjalin jauh sebelumnya.

Peran Founding Father

Peran Bapak Bangsa disini bisa seikit kita jadikan pijakan bagaimana proses pencarian dan penggalian dasar ideologi bangsa menemukan bentuknya saat ini. Demokrasi Pancasila. Adalah Soekarno, sosok Founding Father Indonesia ini memang nyaris tak pernah sepi untuk dikaji dan ditulis dalam berbagai sudut pandang. Rajutan benang perjuangannya, sepanjang sejarah terbentuknya negara bernama Indonesia, memang tak bisa dipisahkan begitu saja dari sosok presiden pertama RI ini. Lebih dari itu, saat ini ketokohannya banyak memberi inspirasi kepada generasi muda. Generasi yang dalam istilah Soekarno masuk pada tahap pelaksana daripada cita-cita seluruh rakyat Indonesia, mendirikan sebuah masyarakat yang adil dan makmur tanpa eksploitasi yang satu atas yang lainnya. Paling tidak peran ketokohannya memang membrikan andil positif dalam memgobarkan semangat dan memberikan inspirasi tiap generasi muda Indonesia dari masa ke masa.

Tokoh lainnya, dimana usahanya untuk mendesak pemerintah kolonila Belanda saat itu, agar membetuk parlemen dimana orang-orangnya dipilih langsung oleh rakyat adalah H.O.S Cokroaminoto. dalam buku Nazaruddin. S berjudul ”Integrasi Politik di Indonesia” Cokroaminoto berpendapat bahwa ia pada dasarnya tidak mempersoalkan  bentuk demokrasi yang diusulkan harus seperti apa, namun paling tidak, menurutnya, harus mencakup beberapa hal yaitu; rakyat mempunyai hak untuk memilih wakilnya di parlemen. Kedaulatan rakyat adalah di tangan rakyat sendiri dan parlemen mempunyai hak untuk membuat undang-undang dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.

Dalam perkembangan pemikiran Demokrasi Indonesia, Bung Hatta tidak lepas andil dalam mengkonsepsikan pemikirannya terhadap bangunan demokrasi Indonesia. Hatta dengan latar belakang pendidikannya, menganut paham demokrasi yang dianjurkan untuk Indoensia adalah sistem parlementer, diaman partai politik memainkan peran penting. Yang paling penting adalah demokrasi tidaklah ansich di bidang politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi juga perlu ditekankan.

Dari beberapa pandangan bapak bangsa tersebut, bangunan demokrasi kita saat ini terbentuk. Demokrasi Pancasila yang melingkupi semua intisari kebangsaan memang sudah sangat ideal untuk indonesia. ”memang bahwa dalam merumuskan sebuah ide itu jauh lebih mudah daripada mengoperasionalkannya” ungkap Sulastomo, mantan ketua HMI, ketika disinggung mengenai peran Founding Fathers saat ini. Beliau mengungkapkan bahwa kegotongroyongan yang tertuang dalam konsepsi Pancasila sudah sangat elegan jika diterapkan oleh bangsa Indonesia yang memang berbeda dengan bangsa barat yang menganut paham Liberal-Individualistis. ”tapi sepertinya saat ini bangsa ini malah lupa dalam praktek untuk selalu berpedoman pada Pancasila itu sendiri” ujar Mas Tom, sapaan akrabnya.

Mendiskusikan Islam dan negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia senantiasa menarik. Mengapa? Indonesia bukan saja negara yang memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, melainkan pula merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam. Sejatinya, Islam memiliki nilai mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain memberi pesan tentang keimanan, Al-Qur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya, dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan pertolongan.

Namun kenyataannya, Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kesejahteran yang serius. Ironisnya, kontribusi negara sebagai institusi yang seharusnya memiliki peran penting dalam mensejahterakan warganya, ternyata masih jauh dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan oleh kegagalan negara dalam memainkan perannya dengan baik. Seakan-akan Negara tidak pernah dirasakan kehadirannya terutama oleh mereka yang lemah (dhaif) atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.

Umat muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia ternyata tak menjamin bahwa sistem Islam bisa menjadi pedoman hidup negara. Adanya umat dari agama lain yang hidup dalam sebuah negara merupakan keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Hal tersebut yang menjadikan harus ada toleransi dengan umat agama lain dalam menentukan aturan dan norma yang berlaku dalam negara. Toleransi tersebut yang merupakan batasan dari setiap agama untuk mengembangkan dirinya masing-masing.

Indonesia yang merupakan negara yang majemuk. Berbagai agama dan suku adat hidup dan tinggal bersama di tanah Indonesia. Kemajemukan tersebut yang membuat landasan Indonesia haruslah mewakili kepentingan bersama, agar tidak ada kelompok agama maupun suku yang merasa tidak memerlukan aturan yang ditetapkan..

Pengamat politik Yudi Latif mengungkapkan bahwa di Indonesia diperlukan adanya toleransi kembar yang berangkat dari pemikiran sekukarisasi itu merupakan utopia. “Sekularisasi itu nonsense bahkan di negara barat sekalipun. Karena adanya sebuah agama adalah tentunya juga untuk mengatur sebuah tatanan masyarakat, akan tetapi ada masyarakat dari agama lain yang merupakan batas bagi sebuah agama. Agama dan negara dalam hal ini tidak terpisah melainkan memiliki tugas masing-masing,” papar Yudi lagi.

Ia pun menjelaskan bahwa setiap agama memiliki kepentingan untuk mengatur sebuah negara. “Masing-masing agama ingin membentuk tatanan masyarakat berdasarkan aturan yang ada di dalamnya, agar masyarakat yang ideal menurut agama tersebut bisa terbentuk. Tapi sebuah agama tersebut tidak diperkenankan untuk mendikte negara karena kuantitasnya sebagai mayoritas,” ungkapnya.

Islam di Indonesia seharusnya menjadi ruh dalam perubahan tataran moral setiap pribadinya, dari yang tak jelas menjadi semakin jelas, dari yang rapuh menjadi tatanan yang kuat. Islam seharusnya menjadi kekuatan perekat persatuan bangsa ini, dan bukanlah menjadi sebuah kata-kata yang tabu dalam ranah kenegaraan karena Islam itu menganut sistem rahmatan lil ‘alamin.

Islam Indonesia seharusnya menjadi pioner dalam tumbuh kembangnya pribadi muslim yang mewujudkan aspek tauhid dalam ilmu pengetahuan teknologi, kebudayaan serta kehidupan sosial kemasyarakatan tanpa menjadi masyarakat yang antipati terhadap lingkungan sekitar (eksklusif). Akan tetapi, perkembangan tersebut tanpa melanggar hak yang dimiliki oleh agama lainnya yang telah lama hidup berdampingan.

Dalam toleransi kembar tersebut negara berperan sebagai pelindung dari semua masyarakat. Namun, agama pun memiliki tugas yang lain yakni mengatur umatnya untuk bisa hidup aman dan tentram sebagaimana ajaran yang terdapat didalamnya tanpa mengganggu agama lainnya. Artikulasi agama dan negara yang dipahami demikian menurut Yudi Latif perlu diterapkan di Indonesia.

“Aturan yang seharusnya diterapkan dalam sebuah negara yang plural diambil berdasarkan konsensus. Bukan hanya berdasarkan menjadi aturan agama tertentu. Perlu adanya diambil berdasarkan konsensus-konsensus dasar atau titik temu yang menjadi kebaikan bersama. Maka yang diambil adalah manfaatnya bagi semua masyarakat tanpa merasa salah satu agama merupakan pemilik aturan tersebut,” ungkap Yudi Latif yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Reform Institute.

Ia pun mengungkapkan bahwa Piagam Madinah yang merupakan sebuah bentuk awal negara modern pun diambil berdasarkan kesepakatan bersama. “Ada perubahan dalam  Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah, kalimat yang mengungkapkan kesaksian bahwa Muhammad merupakan Rasulullah tidak disetujui oleh Kaum Yahudi. Lantas, Nabi Muhammad pun mengubahnya agar bisa disepakati bersama,” jelas Doktor bidang Sosiologi Politik tersebut lagi.

Konsep syumuliyatul Islam (kesempurnaan Islam) harus mampu diserap atau bahkan ditransfer ke dalam jiwa setiap muslim, agar ia menjadi sadar bahwa Islam itu bukan hanya mengurusi atau mengatur ibadah sholat, zakat, puasa, haji namun juga keselurahan kehidupan pribadi muslim diatur bahkan sampai ke ranah kenegaraan.

Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus segera sadar bahwa kita itu adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar dan punya peran cukup signifikan dalam kancah internasional mulai mempersiapkan generasi penerus yang akan datang menjadi generasi yang bukan generasi mental lemah, bukan generasi bodoh, dan bukan generasi yang hanya bisa menjadi follower murni.

Kita harus menyediakan fasilitas-fasilitas untuk menunjang pembentukan pribadi-pribadi bermental pemenang, kita harus memberikan kucuran-kucuran dana yang cukup dan memadai kebutuhan kepada mereka yang berani berjuang mewujudkan cita-cita bangsa ini. Islam itu harus menjadi titik tolak berfikir, bergerak, berjuang seorang muslim, dan bukannya menjadi sebuah kejumudan.

Dengan beragamnya budaya dan kekayaan alamnya yang melimpah, adalah keberkahan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia. Lantas, bagaimana umat Islam seharusnya menjaga keberkahan Allah SWT ini?

Keberkahan Allah SWT memang terpancar jelas di Indonesia. Keberkahan seperti alam dan budaya yang kaya ini dapat membuat iri bangsa lain dari dulu hingga sekarang. Bertahun-tahun lalu, kita pernah mengalami penjajahan begitu rupa dan para kusuma bangsa telah mengajarkan dengan sangat baik. Pengorbanan menjaga bangsa demi anak cucu tidak bisa setengah-setengah, bahkan kalau perlu dengan nyawa.

Tentu, kekayaan yang diamanatkan ini mesti dijaga oleh kita sebagai generasi penerus. Islam sebagai kaum mayoritas pun punya kewajiban. Syaiful Bahri, Wasekjen PBNU, menegaskan bahwa menjaga tanah air sebenarnya adalah kewajiban setiap umat muslim.

Beberapa minggu lalu hubungan Indonesia dengan negara Malaysia menghangat. Isu Ambalat mengemuka kembali. Kapal-kapal Malaysia dengan rajin melewati batas teritorial Indonesia selama berhari-hari. Ini tentu merisaukan Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas daerah Ambalat.

Muchayat Salam, selaku Ketua Dewan Pembina Forum Silaturahmi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (FSPRMI), menegaskan hak Indonesia atas kepulauan Ambalat. “Mempertahankan hak itu wajib hukumnya, termasuk kepulauan Ambalat,” terang Muchayat. Baginya, Ambalat adalah milik Indonesia.

Sangat wajar jika Ambalat adalah zona perebutan. Disinyalir di kepulauan sebelah utara Indonesia ini terdapat ladang minyak yang cukup melimpah. Tak ayal, perebutan antar dua negara tetangga Indonesia dan Malaysia yang berada di perbatasan bakal berlangsung terus.

Menghadapi konfrontasi perbatasan seperti ini Indonesia harus dengan kepala dingin. Selain itu, Indonesia pun mesti bersikap tegas agar persoalan ini tidak berlarut dikemudian hari.

Mengenai hal ini, Muchayat menginginkan solusi damai dalam mengatasi isu Ambalat yang sempat memanas ini. “Jika ada yang lalai, Islam kan mengajarkan kita untuk mengingatkan dan menasehati. Kalau cara-cara diplomasi tidak bisa, ya baru dihadapi.”

Titik temu antar batas negara memang harus diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu. Diharapkan dengan musyawarah, dapat menghindarkan dari konflik yang semakin meruncing dan mengakibatkan perang. Perang sudah pasti akan jatuh banyak korban dari kedua belah pihak. Pun persaudaraan antar negara serumpun yang sudah dibina sejak dulu akan luntur.

Walaupun solusi dialogis telah diajukan, tetap saja ada kelompok masyarakat yang menginginkan konfrontasi secara fisik dengan Malaysia. “Sebetulnya kita tidak perlu emosional dalam hal ini. Pemerintah pun telah melakukan hal-hal preventif agar masalah perbatasan ini bisa diselesaikan secara tepat,” ujar Muchayat.

Muchayat pun menjelaskan bahwa Indonesia sendiri telah mempunyai sistem dalam mempertahankan kedaulatan. Termasuk didalamnya menjaga teritorial perbatasan Indonesia. “Kekuatan pertahanan kita pasti ditingkatkan. Kita tidak perlu takut pada Malaysia, tapi alangkah lebih baik kita berunding dulu sesama negara serumpun,” kata Muchayat.

Belum lagi masalah Ambalat rampung, kita dihadapkan lagi dengan Malaysia soal penyiksaan tenaga kerja Indonesia di sana. Yang paling menggemparkan adalah kisah Siti Hajar, tenaga kerja wanita asal Garut, yang kabur dari penyekapannya dan lari ke Kedutaan Besar RI di Malaysia. Masalah ini kontan menyulut kemarahan, sebab jika melihat bekas luka Siti Hajar, sangat memilukan. Sekujur tubuhnya terdapat luka memar dan luka bakar. Sebagian wajahnya pun melepuh.

Seketika kasus ini menjadi besar. Media-media nasional menjadikannya tiras berita utama dalam beberapa kesempatan. Bahkan, Presiden SBY pun menghubungi Siti Hajar secara pribadi lewat telepon, menanyakan kondisi terakhirnya. Dalam sambungan telepon yang disiarkan sejumlah media televisi nasional tersebut, SBY bersimpati terhadap nasib yang dialami Siti Hajar. Ia mengimbau Siti Hajar untuk sabar dan berjanji pemerintah akan membantu menyelesaikan kasus hukumnya.

Kasus ini kian menambah runcingnya hubungan Indonesia-Malaysia. Muchayat menilai persoalan ini jangan dibawa ke kasus antar negara, biarpun masalah ini melibatkan kedua warga negara tetangga ini. “Ini ulah perorangan saja. Kita berharap pemerintah Malaysia bisa mengatasinya secara adil,” jelas Muchayat.

“Sebenarnya misi Islam pun adalah pembebasan manusia dari perbudakan. Kita berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Ketika mereka (Malaysia-red) butuh tenaga, ya mereka juga harus berani membayar hak,” tambah Muchayat.

Kasus Siti Hajar seperti hanya puncak gunung es dari ribuan masalah mengendap dibawahnya. Pemerintah Indonesia mengambil langkah cepat dengan memberhentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia hingga masalah ini benar-benar kelar. Harapannya, perlindungan terhadap TKI dapat terjamin lebih dulu sehingga mereka bisa tenang bekerja di sana.

Problem hak cipta juga menghadapkan kita kepada negara Malaysia. Kita tentu masih ingat pada masalah klaim pihak Malaysia terhadap kesenian Reog Ponorogo dari Jawa Timur. Reog Ponorogo yang sudah dipentaskan selama berabad ini yang belum mendapatkan hak cipta ini tiba-tiba diakui Malaysia sebagai keseniannya.

Kejadian ini mengakibatkan kekhawatiran tentang nasib karya cipta anak bangsa lainnya. Kesenian Indonesia berjumlah jutaan dan belum semua mendapatkan hak cipta. “Sebetulnya hal ini bisa diselesaikan secara hukum. Secara de facto Indonesia batiknya hingga Reog Ponorogo sudah berada dari ratusan tahun. Hak-haknya belum dipatenkan, ini kan ada celah yang dimanfaatkan Malaysia,” cetus Muchayat, yang juga Ketua Barisan Indonesia (Barindo) Jakarta.

Menurutnya, celah-celah hak paten yang bisa dimanfaatkan pihak lain, hendaknya bisa kita tutupi. Selain peran pemerintah, warga Indonesia pun dituntut untuk pro aktif mendaftarkan karyanya supaya tidak diklaim oleh bangsa lain.

Berbagai permasalahan antar negara ini tentu membutuhkan sikap yang tepat agar melahirkan solusi yang tidak berujung pada konflik. Muchayat pun menganjurkan cara-cara Islami yang bersifat musyawarah secara kekeluargaan dapat dilakukan untuk mengatasi problem kebangsaan. Sebab, fungsi Islam turun ke dunia sebagai rahmatan lil alamin, atau rahmat alam semesta. Mendamaikan dan  memberi kesejukan pada umat manusia.[hp]